Senin, 01 Februari 2010

Mempelajari Gerak Ekonomi-Politik China

Di tengah ‘ributnya’ akan terjadi gempuran hebat produk China ke negeri ini melalui Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China, adalah lebih baik bila kita juga mempelajari sepak terjang gerak ekonomi-politik China. Karena kekuatan ekonomi China sudah diprediksikan akan mampu menggeser Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor dua dunia. Tentunya, laju ekonomi-politik China tidak dilakonkan dengan strategi yang umum dan biasa. Strategi yang diperankan China, boleh dibilang, cukup kentara menggunakan strategi seni perang Sun Zi, "Kenali diri sendiri, kenali pihak lain, setarus pertempuran, setarus kemenangan".
Barat mengajarkan bahwa pembangunan ekonomi harus disertai pembangunan politik, karena akan tercermin dipenuhinya hak-hak sipil dan politik. Inilah yang dipahami sebagai tujuan proyek modernisasi untuk mencapai kemajuan ekonomi dan memantapkan sistem politik demokrasi. Namun, kenyataan yang terjadi tidak seperti yang diproklamirkan. Salah satu, tampaknya, harus mendahului yang lain. Inilah yang ditempuh oleh China. Negeri Tirai Bambu tersebut lebih mendahulukan kemakmuran ekonomi baru perlahan-lahan membangun sistem demokratis. Singkatnya, China mengesampingkan demokrasi dan lebih memilih melakukan kebijakan reformasi ekonomi.
Maka, tak perlu heran jika gerak China menuju kekuatan ekonomi justru berada di bawah kendali rezim otoriter yang opresif dan anakronistik. Jelas sekali ini kontras dengan pengalaman-pengalaman negara Eropa dan Amerika yang menganut ajaran, "Kemajuan ekonomi hanya kondusif bila berada di bawah sistem politik demokrasi."
Bahkan, yang membuat kita kian tercengang, kini Amerika Serikat (AS) justru kian bergantung pada China. Defesit anggaran AS tahun ini (2009) melampaui 8,1 trilliun dollar AS dengan utang kumulatif mendekati 12 trilliun dollar AS. Diperkirakan China mewakili 83 persen dari seluruh defisit perdagangan AS dalam produk non minyak. Selain itu, defisit anggaran AS justru "ditanggung" China, yang kini mengakumulasi pembelian surat berharga AS senilai 763,5 miliar dolar AS.
Artinya, China mampu memegang AS dalam lingkup ekonomi. Sehingga, strategi seni Perang Sun Zi yang mencetuskan, "kemampuan untuk mengalahkan musuh tanpa pertempuran sama sekali adalah cermin strategi yang paling hebat", tampak jelas diperankan. Hal inilah yang membuat AS sangat ingin meningkatkan hubungan dengan China untuk menyangga ekonomi AS yang sedang limbung.
Peluang China menjadi "Super Power"
Bersamaan dengan peningkatan kemajuan ekonomi yang menjadi ancaman negara-negara industri maju, ada pelajaran penting yang dimainkan China yang tak lepas dari strategi Seni Perang Sun Zi. Sun Zi mengatakan, "Bila seorang Jenderal memperlakukan pasukannya seperti anak kesayangannya, mereka bersedia mendukung dan mati bersamanya". Strategi yang mengajarkan humanis ini tampak begitu kelihatan tatkala China teguh menempuh jalan politik sendiri yang lebih cocok dengan kebutuhan domestik. Artinya, China tidak serta merta mengadopsi ide-ide demokrasi dan HAM yang disuarakan Barat.
Malah, sepertinya, China dapat menangkap bahwa Barat suka berperan hipokrit dan berstandar ganda. Ini dapat disaksikan dalam aktivitas AS menjalin persekutuan harmonis dengan rezim nondemokratis seperti Arab Saudi dengan tujuan mendapat konsesi ekonomi-politik. China begitu kukuh meretas jalan sendiri dalam melaksanakan proyek modernisasi ekonomi-politik dengan caranya sendiri. Bagi China, sungguh tidak mudah berayun di antara ekonomi dan demokrasi karena ‘negeri tirai bambu’ hanya dihuni 1,3 milliar penduduk. China tampaknya dapat membaca, kalau terjadi gejolak politik skala kecil pun akan berdampak besar terhadap stabilitas keamanan domestik, yang tentunya dapat mengguncang sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Jika China sudah mengenal diri sendiri dan mengenal lawannya, peluang untuk menjadi super power tak terlalu jauh lagi. Apalagi, jika diperhatikan dalam beberapa pertemuan AS dengan China, kerap AS meminta China mengembangkan ekonomi yang tidak bergantung pada ekspor. Boleh dinilai, inilah sebagai isyarat bahwa AS melanjutkan langkah-langkah proteksionisnya terhadap China, seperti apa yang pernah dikumandangkan Obama dalam kampanyenya.
Gerak Demokrasi China
Setelah laju ekonomi China berada dalam posisi aman, barulah China perlahan mulai mengakomodasi sebagian elemen demokrasi modern. Reformasi ekonomi China disertai penataan kelembagaan pemerintah yang tampak tengah berubah wajah mendukung good governance, rule of law, pemberantasan korupsi, dan pasar terbuka. Ini boleh dibilang sebagai strategi gradual yang bertujuan memperkuat peran negara dalam membangun perekonomian dan menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat mutlak untuk menarik investasi asing dan memacu pertumbuhan berkelanjutan.
Meskipun demikian, kelihatannya China cukup paham betul akan gerak hukum kapitalis pasar, yaitu bagaimana mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan. Karena itu, China lebih mengutamakan reformasi kelembagaan pemerintahan yang sifatnya efesiensi birokrasi, peningkatan mutu pelayanan publik, penegakan hukum dan perkuatan peradilan, yang lebih dibutuhkan guna memfasilitasi investasi asing. Karena, para investor tentu memilih dan memperhatikan jaminan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum dalam berinvestasi.
Dengan mempelajari Gerak Ekonomi-China ini tentunya dapat dijadikan model, karena jalan pragmatisme China ini sangat menginspirasi bagaimana membangun perekonomian. Apalagi, bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi liberal, tetapi berpendapatan per kapita rendah seperti Indonesia. Karena apa yang diajarkan China tetap menyerap unsur-unsur pokok kapatalisme pasar dengan tetap memelihara nilai-nilai ideologi sosialisme yang berakar urat dalam tradisi politik. Hal ini selaras dengan apa yang diajarkan Sun Zi, "Kemampuan untuk mencegah kekalahan bergantung pada diri sendiri, sementara peluang untuk menang bergantung pada musuh."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar